Perangai fadil mahasiswa sebegitu
benyai. Kaum yang kerap bergelar sebagai kaum pembaharu dan intelek ini
kehilangan elan perjuangan. Menobatkan akademis sebagai perkara halal mahasiswa
untuk mengalineasi dirinya dalam percaturan politis dan social.
Padahal Mao Tse Tung bertutur “tuntutan
akademis dan aktivitas politis adalah dua hal yang saling melengkapi, bukan
malah bertentangan”.
Kekesatriaan mahasiswa benar-benar
berada dalam kesompekan. Budaya ku-pu-ku-pu- (kuliah pulang kuliah pulang)
melahirkan generasi masa depan yang memar: tak sadar identitas, tak sadar
peran, harus apa dengan cara apa apalagi untuk siapa. Sudut altruisme berbahana
if it is pointless, I will not do!.
“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini
menyadari bahwa mereka adalah the happy
selected few, yang dapat kuliah, dan karena itu mereka harus menyadari dan
melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya” singkap Soe Hok Gie. Aktivis asal
Indonesia ini tak asal bicara. Mahasiswa adalah generasi penerus yang mampu
memajukan dan mengharumkan nama bangsa, generasi yang cerdas dalam belajar dan
kritis dalam kenyataan sosial sehingga Agent
of change –istilah Auguste Comte- atau agent
of modernization –istilah Ali Syariati- tak relevan untuk dibantah.
Konsepsi
Mayor
Mahasiswa dibekali potensi akal yang
superior dan potensi kehendak yang tidak inferior. Pemikiran dan pengetahuan
dapat mengantarkan mereka untuk merebut masa depan Indonesia yang lebih baik.
Proaktif dalam mengembangkan kapasitas diri sehingga dapat berselancar dalam
panggung negara untuk memerbaiki kondisi bangsa. Kehendak untuk bertindak dan
bergerak dapat mengantarkan mereka untuk menyongsong masa depan Indonesia yang
lebih cerah.
Imaji atas mahasiswa sebegitu hebat.
Superioritasnya sudah banyak direkam sejarah. Efek dari elan perjuangan
mahasiswa sangatlah besar sehingga mampu memainkan peran dengan sangat memukau
dalam panggung kehidupan berbangsa. Sosok prime
mover ini bahkan dapat merubah politik pada suatu negara.
Tilik saja serangkaian peristiwa
penggulingan yang diperankan oleh mahasiswa, seperti penggulingan Juan Peron di
Argentina tahun 1955; Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958; Soekarno di Indonesia
tahun 1966; Ayub Khan di Pakistan tahun 1969; Reza Pahveli di Iran tahun 1979;
Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987; Ferdinand Marcos di Filipina tahun
1985; Suharto di Indonesia tahun 1998.2
Elan perjuangan mahasiswa akan membentuk
wajah Indonesia kedepan. Mahasiswa wajib sadar dan bangkit untuk menghegemoni Indonesia.
Mahasiswa wajib tampil di setiap lini kehidupan terutama politik dan ekonomi.
Bukan
Estetika Politik melainkan Etika Politik
Bersukat untuk membangun Indonesia
menjadi lebih baik tak semudah membalikkan telapak tangan. Mahasiswa bukan tukang sulap yang
tinggal mengucap mantra Pak Tarno, “Bim salabim jadi apa prok prok prok!”
sehingga butuh pemikiran yang matang untuk memulai darimana mahasiswa harus
bertindak.
Menilik roman budaya politik yang
berkembang pada era reformasi, kekuasaan telah menjadi orientasi primer yang
saban kali berkelebat mengeruhkan struktur politik demokrasi. Patron klien sebagai
budaya politik tak jarang melahirkan pola kekuatan orientasi individu yang berelaborasi
pada kekuasaan daripada sebagai pelayan publik.
Menggantungkan tingkah laku elite
politik pada kehidupan berpolitik berpola patron klien perlu ditelisik kembali
apakah tingkah laku tersebut berdasar pada kepantasan politik (estetis) atau
moralitas politik (etis).
Estetis kerap bereda pada gimmick elegan; kecakapan, keelokan,
kebiasaan, kepatutan tingkah laku. Bersandar telak pada estetika seolah tak
mudah meninjau ulang kebiasaan dan kecenderungan yang ada dalam tingkah laku
politik. Berpatri pada rujukan persepsi budaya politik, suatu pola tingkah laku
diterima karena sudah biasa diterima. Misal, adalah wajar melaksanakan
pembangunan politik dengan berbiaya tinggi, merasa nyaman ketika tidak
menggunakan hak pilih.
Lain hal dengan moralitas politik
(etis), menancap pada norma-norma yang ada dalam hukum dan sensibilitas politik
yang dianut sehingga muncul pada dua penekanan; tingkah laku politik dapat
dibenarkan atau harus ditolak. Artinya, mendulang kemungkinan terurainya
kekeliruan budaya politik berdasarkan patokan yang disepakati. Dimensi
altruisme etis diterima berpatok pada alasan-alasan yang membenarkan penerimaan
tersebut. Menolak money politik atas dasar norma-norma yang telah dianut,
memerketat hukum pemilu tentang tata cara dan etika kampanye yang benar, adalah
benar-benar berdasar pada moralitas politik.
Pembaharuan positif disini perlu
diusung. Mahasiswa mesti mengusung pergeseran nyata dari estetika politik
kepada etika politik yang didukung oleh peralihan nyata dari pemikiran
didasarkan pada budaya politik kepada pertimbangan berdasarkan moralitas
politik. Matra moralitas politik (etik) berfaedah tinggi dan mencerdaskan
(bukan menyesatkan) masyarakat.