Jumat, 07 September 2012

Etika Bukan (Est)etika

Oleh Evi Mulyani 
Perangai fadil mahasiswa sebegitu benyai. Kaum yang kerap bergelar sebagai kaum pembaharu dan intelek ini kehilangan elan perjuangan. Menobatkan akademis sebagai perkara halal mahasiswa untuk mengalineasi dirinya dalam percaturan politis dan social.
Padahal Mao Tse Tung bertutur “tuntutan akademis dan aktivitas politis adalah dua hal yang saling melengkapi, bukan malah bertentangan”.

Kekesatriaan mahasiswa benar-benar berada dalam kesompekan. Budaya ku-pu-ku-pu- (kuliah pulang kuliah pulang) melahirkan generasi masa depan yang memar: tak sadar identitas, tak sadar peran, harus apa dengan cara apa apalagi untuk siapa. Sudut altruisme berbahana if it is pointless, I will not do!.

“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few, yang dapat kuliah, dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya” singkap Soe Hok Gie. Aktivis asal Indonesia ini tak asal bicara. Mahasiswa adalah generasi penerus yang mampu memajukan dan mengharumkan nama bangsa, generasi yang cerdas dalam belajar dan kritis dalam kenyataan sosial sehingga Agent of change –istilah Auguste Comte- atau agent of modernization –istilah Ali Syariati- tak relevan untuk dibantah.

Konsepsi Mayor

Mahasiswa dibekali potensi akal yang superior dan potensi kehendak yang tidak inferior. Pemikiran dan pengetahuan dapat mengantarkan mereka untuk merebut masa depan Indonesia yang lebih baik. Proaktif dalam mengembangkan kapasitas diri sehingga dapat berselancar dalam panggung negara untuk memerbaiki kondisi bangsa. Kehendak untuk bertindak dan bergerak dapat mengantarkan mereka untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih cerah. 

Imaji atas mahasiswa sebegitu hebat. Superioritasnya sudah banyak direkam sejarah. Efek dari elan perjuangan mahasiswa sangatlah besar sehingga mampu memainkan peran dengan sangat memukau dalam panggung kehidupan berbangsa. Sosok prime mover ini bahkan dapat merubah politik pada suatu negara.

Tilik saja serangkaian peristiwa penggulingan yang diperankan oleh mahasiswa, seperti penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955; Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958; Soekarno di Indonesia tahun 1966; Ayub Khan di Pakistan tahun 1969; Reza Pahveli di Iran tahun 1979; Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987; Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1985; Suharto di Indonesia tahun 1998.2

Elan perjuangan mahasiswa akan membentuk wajah Indonesia kedepan. Mahasiswa wajib sadar dan bangkit untuk menghegemoni Indonesia. Mahasiswa wajib tampil di setiap lini kehidupan terutama politik dan ekonomi.

Bukan Estetika Politik melainkan Etika Politik

Bersukat untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik tak semudah membalikkan telapak tangan. Mahasiswa bukan tukang sulap yang tinggal mengucap mantra Pak Tarno, “Bim salabim jadi apa prok prok prok!” sehingga butuh pemikiran yang matang untuk memulai darimana mahasiswa harus bertindak.

Menilik roman budaya politik yang berkembang pada era reformasi, kekuasaan telah menjadi orientasi primer yang saban kali berkelebat mengeruhkan struktur politik demokrasi. Patron klien sebagai budaya politik tak jarang melahirkan pola kekuatan orientasi individu yang berelaborasi pada kekuasaan daripada sebagai pelayan publik. 

Menggantungkan tingkah laku elite politik pada kehidupan berpolitik berpola patron klien perlu ditelisik kembali apakah tingkah laku tersebut berdasar pada kepantasan politik (estetis) atau moralitas politik (etis).

Estetis kerap bereda pada gimmick elegan; kecakapan, keelokan, kebiasaan, kepatutan tingkah laku. Bersandar telak pada estetika seolah tak mudah meninjau ulang kebiasaan dan kecenderungan yang ada dalam tingkah laku politik. Berpatri pada rujukan persepsi budaya politik, suatu pola tingkah laku diterima karena sudah biasa diterima. Misal, adalah wajar melaksanakan pembangunan politik dengan berbiaya tinggi, merasa nyaman ketika tidak menggunakan hak pilih. 

Lain hal dengan moralitas politik (etis), menancap pada norma-norma yang ada dalam hukum dan sensibilitas politik yang dianut sehingga muncul pada dua penekanan; tingkah laku politik dapat dibenarkan atau harus ditolak. Artinya, mendulang kemungkinan terurainya kekeliruan budaya politik berdasarkan patokan yang disepakati. Dimensi altruisme etis diterima berpatok pada alasan-alasan yang membenarkan penerimaan tersebut. Menolak money politik atas dasar norma-norma yang telah dianut, memerketat hukum pemilu tentang tata cara dan etika kampanye yang benar, adalah benar-benar berdasar pada moralitas politik. 

Pembaharuan positif disini perlu diusung. Mahasiswa mesti mengusung pergeseran nyata dari estetika politik kepada etika politik yang didukung oleh peralihan nyata dari pemikiran didasarkan pada budaya politik kepada pertimbangan berdasarkan moralitas politik. Matra moralitas politik (etik) berfaedah tinggi dan mencerdaskan (bukan menyesatkan) masyarakat.

2 komentar:

wahh,tulisannya mantep sekarang mah yah evi..
jujur, banyak kata yg tidak familiar alias jarang didengar namun enak dibaca.
good luck, keep moving forward :)

sedang belajar menulis sedikit-sedikit fahri.. :) semoga bisa continue