TOEFL PREPARATION COURSE

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 04 November 2012

Determined


 


Abece berhamburan
memantik rasa penasaran
ini adalah kemudian, lalu, dan seterusnya

Aurora



Prosa yang kutulis di aurora
Kamu australis dan aku borealis
Kembalilah puitik karena klausa yang hilang itu kamu
#bercengkrama dengan malam

Jumat, 07 September 2012

Etika Bukan (Est)etika

Oleh Evi Mulyani 
Perangai fadil mahasiswa sebegitu benyai. Kaum yang kerap bergelar sebagai kaum pembaharu dan intelek ini kehilangan elan perjuangan. Menobatkan akademis sebagai perkara halal mahasiswa untuk mengalineasi dirinya dalam percaturan politis dan social.
Padahal Mao Tse Tung bertutur “tuntutan akademis dan aktivitas politis adalah dua hal yang saling melengkapi, bukan malah bertentangan”.

Kekesatriaan mahasiswa benar-benar berada dalam kesompekan. Budaya ku-pu-ku-pu- (kuliah pulang kuliah pulang) melahirkan generasi masa depan yang memar: tak sadar identitas, tak sadar peran, harus apa dengan cara apa apalagi untuk siapa. Sudut altruisme berbahana if it is pointless, I will not do!.

“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few, yang dapat kuliah, dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya” singkap Soe Hok Gie. Aktivis asal Indonesia ini tak asal bicara. Mahasiswa adalah generasi penerus yang mampu memajukan dan mengharumkan nama bangsa, generasi yang cerdas dalam belajar dan kritis dalam kenyataan sosial sehingga Agent of change –istilah Auguste Comte- atau agent of modernization –istilah Ali Syariati- tak relevan untuk dibantah.

Konsepsi Mayor

Mahasiswa dibekali potensi akal yang superior dan potensi kehendak yang tidak inferior. Pemikiran dan pengetahuan dapat mengantarkan mereka untuk merebut masa depan Indonesia yang lebih baik. Proaktif dalam mengembangkan kapasitas diri sehingga dapat berselancar dalam panggung negara untuk memerbaiki kondisi bangsa. Kehendak untuk bertindak dan bergerak dapat mengantarkan mereka untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih cerah. 

Imaji atas mahasiswa sebegitu hebat. Superioritasnya sudah banyak direkam sejarah. Efek dari elan perjuangan mahasiswa sangatlah besar sehingga mampu memainkan peran dengan sangat memukau dalam panggung kehidupan berbangsa. Sosok prime mover ini bahkan dapat merubah politik pada suatu negara.

Tilik saja serangkaian peristiwa penggulingan yang diperankan oleh mahasiswa, seperti penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955; Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958; Soekarno di Indonesia tahun 1966; Ayub Khan di Pakistan tahun 1969; Reza Pahveli di Iran tahun 1979; Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987; Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1985; Suharto di Indonesia tahun 1998.2

Elan perjuangan mahasiswa akan membentuk wajah Indonesia kedepan. Mahasiswa wajib sadar dan bangkit untuk menghegemoni Indonesia. Mahasiswa wajib tampil di setiap lini kehidupan terutama politik dan ekonomi.

Bukan Estetika Politik melainkan Etika Politik

Bersukat untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik tak semudah membalikkan telapak tangan. Mahasiswa bukan tukang sulap yang tinggal mengucap mantra Pak Tarno, “Bim salabim jadi apa prok prok prok!” sehingga butuh pemikiran yang matang untuk memulai darimana mahasiswa harus bertindak.

Menilik roman budaya politik yang berkembang pada era reformasi, kekuasaan telah menjadi orientasi primer yang saban kali berkelebat mengeruhkan struktur politik demokrasi. Patron klien sebagai budaya politik tak jarang melahirkan pola kekuatan orientasi individu yang berelaborasi pada kekuasaan daripada sebagai pelayan publik. 

Menggantungkan tingkah laku elite politik pada kehidupan berpolitik berpola patron klien perlu ditelisik kembali apakah tingkah laku tersebut berdasar pada kepantasan politik (estetis) atau moralitas politik (etis).

Estetis kerap bereda pada gimmick elegan; kecakapan, keelokan, kebiasaan, kepatutan tingkah laku. Bersandar telak pada estetika seolah tak mudah meninjau ulang kebiasaan dan kecenderungan yang ada dalam tingkah laku politik. Berpatri pada rujukan persepsi budaya politik, suatu pola tingkah laku diterima karena sudah biasa diterima. Misal, adalah wajar melaksanakan pembangunan politik dengan berbiaya tinggi, merasa nyaman ketika tidak menggunakan hak pilih. 

Lain hal dengan moralitas politik (etis), menancap pada norma-norma yang ada dalam hukum dan sensibilitas politik yang dianut sehingga muncul pada dua penekanan; tingkah laku politik dapat dibenarkan atau harus ditolak. Artinya, mendulang kemungkinan terurainya kekeliruan budaya politik berdasarkan patokan yang disepakati. Dimensi altruisme etis diterima berpatok pada alasan-alasan yang membenarkan penerimaan tersebut. Menolak money politik atas dasar norma-norma yang telah dianut, memerketat hukum pemilu tentang tata cara dan etika kampanye yang benar, adalah benar-benar berdasar pada moralitas politik. 

Pembaharuan positif disini perlu diusung. Mahasiswa mesti mengusung pergeseran nyata dari estetika politik kepada etika politik yang didukung oleh peralihan nyata dari pemikiran didasarkan pada budaya politik kepada pertimbangan berdasarkan moralitas politik. Matra moralitas politik (etik) berfaedah tinggi dan mencerdaskan (bukan menyesatkan) masyarakat.

Selasa, 28 Agustus 2012

Menuju Indonesian Corruption Free







Gagasan Kebangkitan, Juni 2012
oleh
Evi Mulyani
PK KAMMI UPI, Mahasiswa P. Ekonomi UPI 2009




Sesungguhnya kehidupan kita tengah berada dalam kegelapan, dimana kegelapan itu menyelimuti seluruh sendi-sendi kehidupan kita. Dari segi pemerintahan, disana banyak duduk tiran yang korup. –M. Taufik Ali Ashor-

Sinisme terhadap wajah Indonesia kian hari kian menghegemoni. Perilaku busuk pejabat publik menyumbat keagungan citra bangsa. Berkelebat memperkaya diri secara tidak wajar dan tidak legal. Kebebalan dianggap superioritas dalam mereguk momentum saat diberi kepercayaan dengan menyalahgunakan kekuasaan publik. Sendi-sendi kebersamaan bangsa dirusak, struktur pemerintahan diacak, perjalanan pemerintahan dihambat. Ia benalu sosial yang semakin hari semakin mewabah dan mencederai geliat ekonomi yang sehat. Ia adalah koruptor bak roman pesakitan yang tak henti merilis beragam model pengembangan korupsi.

Korupsi bukanlah kejahatan yang baru, melainkan kejahatan lama yang sangat pelik dan sistemik. Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi telah mengakar dan membudaya. Kerap kali kita mengernyitkan hati atas peristiwa lumrah kalangan mayoritas pejabat publik akan kewajaran melegitimasi kejadian korupsi. Bersukat dengan retorika anti korupsi tidak cukup pakem untuk mengurungkan kelincahan praktik tercela ini. Peraturan perundang-undangan yang dirilis pemerintah hanya menjadi meaning less dan bebal bagi koruptor.

Roman Korupsi

Berbicara perkembangan korupsi berarti menggantang pemberantasan korupsi. Hingga kini, pemberantasan korupsi belum menunjukkan titik terang. Kasus-kasus korupsi masih menggeliat dari dulu sampai sekarang. 

Contohnya saja kasus megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus tersebut menjalar bak gurita baik ke aparat hukum maupun elit politik. 
Kasus lain yang berselancar dengan nyaman dan berkelebat dengan aman yaitu kasus korupsi Bailout Bank Century. Suap cek pelawat pemilihan deputi senior BI ikut memenuhi daftar kasus korupsi di negeri ini. Kasus Nazarudin, rekening gendut polri, mafia pajak Gayus Tambunan, Angelina sondach, hambalang, Freeport, tambang gas cepu, lapindo, dan kasus lainnya yang masih lezat untuk diperbincangkan Indonesia hari ini turut berdesakkan untuk dienyahkan.

Transparency International (TI) kembali meluncurkan Corruption Perception Index (CPI). CPI adalah sebuah indeks gabungan. Indeks ini dihasilkan dari penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang terpercaya. CPI mengukur persepsi korupsi yang dilakukan politisi dan pejabat publik. Tahun ini CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, dimana 0 berarti Negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara 10 berarti Negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Pada tahun ini, skor Indonesia dalam CPI adalah 3.0. Indonesia dan Negara-negara menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Dikawasan ASEAN, skor Indonesia berada dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.1 (


sumber: www.http://ti.or.id


)



Etape yang dihasilkan CPI tidak ada perubahan yang signifikan. Skor tersebut masih berada dibawah nilai tengah (0.5), belum pantas jika Indonesia dipersepsikan sebagai Negara yang sangat bersih.

Terkesiap bak mendengar obituarium atas realita dari kalkulasi Corruption Perception Index (CPI) yang tersemat pada Indonesia kini. Mata rantai benalu tersebut telah menggurita di Negara kita. akankah kita terdiam sampai sebuah bandul berbunyi tanda peringatan karena cekikan benalu sosial itu sudah hampir mematikan? Mari berkontemplasi dan meruwat harapan dengan kembali menyusun taktis demi mengenyahkan hasrat dan perilaku korupsi.

Kembali ke Sekolah

Kompleksitas bencana yang dipanen dari benih korupsi yang semakin telak menyeruak kepermukaan bukan mustahil untuk dienyahkan. Cara yang paling efektif menurut Berry (2010) adalah melalui media pendidikan.

Keterlibatan pendidikan nasional secara formal dalam mengeliminasi korupsi memiliki kedudukan strategi antisipatif. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 tertuang bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman.

Berangkat dari makna Undang-Undang Republik Indonesia diatas, terdapat superioritas makna dalam hal relevansi dan harmonisasi antara pendidikan berbasis nilai dan sesuai dengan kebutuhan para peserta didik.

Pembelajaran Berbasis Value

Roman proses pembelajaran hari ini hanya menggugu kemampuan intelegency. Berkeluk pada kemampuan kognitif. Ragam manusia akan semakin haus ilmu yang tidak dapat terlampiaskan sebagaimana kodrat manusia. Mengais ilmu adalah andil dari tingkat kemampuan intelegency dengan little processor didalam otak kecil.

Tak heran jika pembelajaran terutama pembelajaran dalam hidup sering digerek pada situasi yang tak hanya membutuhkan formula intelegency dalam menyelesaikannya akan tetapi kreativitas sangat diandalkan. Pembelajaran akan elok jika menggugu dan meniru value. Memetik nilai yang berserakan dalam proses pembelajaran yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sebagai makhluk individualis, sosialis, dan bermartabat. Bukan hanya melulu berselancar pada pembelajaran tekstual melainkan kontekstual.

Memaut Asa Pengabdian Tulus Pendidik

Chico Mendez berseru, “menciptakan seribu orang tanpa pendidikan, yang tercipta amuk massa. Sedangkan menciptakan seratus orang dengan pendidikan, yang muncul adalah sebuah perubahan terstruktur”.

Seorang penggiat lingkungan, Chico Mendez telah melukiskan ribuan inspirasi bagi pendidik. Menebar semangat dengan memasukkan formula pendidikan sebagai hal vital dalam menginisiasi perubahan.

Mengakar kekesatriaan pendidik dengan menyulap kepribadian pembelajar agar menjadi para pembelajar yang memiliki karakter. Meruwat asa pada pendidik mengantarkan pembelajar pada pemahaman bukan lagi sosok yang bersukat mengejar score besar (score oriented) yang akan tertuang dalam ijazah dengan menghalalkan segala cara atau bersukat mengejar gelar dengan percuma tanpa makna.

Memantik kekesatriaan pendidik dengan mengangkat cara belajar yang menimba dari pengalaman agung sang juara, dari khazanah emas. Memaut asa para pembelajar berprestasi sekaligus berandil di masyarakat. Sehingga ilmu yang tereguk di sekolah atau perguruan tinggi dapat menghegemoni dalam pembentukkan sikap hidup positif keseharian pembelajar.

Menebar Value bagi Pembelajar Indonesia

Mari kita menilik dan memahami alasan utama penyebab merebaknya korupsi, adalah mental aparat yang bobrok. Terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para koruptor. Tak jarang kita menyaksikan para koruptor adalah orang yang sudah berlebih dalam hal materi. Namun karena ketamakannya, mereka masih berhasrat untuk memperkaya diri.2 (


sumber: www.http://ti.or.id


)



Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit.
Dibutuhkan semangat serigala untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi. Korupsi selalu bersisa karena pembombardiran terhadap benalu sosial tersebut tidak pernah tepat sasaran. Tamsil “gigi yang sakit, tapi yang diobati telapak tangan”.

Akar permasalahan yang terpatri adalah pada karakter bobrok sebagian manusia Indonesia. Indonesia harus berkelebat dan bersukat sejak dini untuk mengeliminasi kebobrokan karakter dengan model pembelajaran pada pembelajar dengan berbasis value. Menyampaikan pesan agung dan memetik value sehingga dapat mewujudkan the true learning.

Mengakomodasi Transformasi Value Berbasis Multiple Intellegences

Dalam menancapkan value dari berbagai topik bahasan pembelajaran, tidak serta merta menekankan pada kemampuan logika dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk ceramah yang acap kali membuat bosan para pembelajar. Efektifitas dalam mentransfer materi pelajaran yang sarat makna (value) dapat disampaikan dalam proses belajar yang sesuai dengan kondisi siswa (tanggap terhadap kebutuhan zaman).

Seorang pendidik yang kreatif akan mentransformasikan value pada pembelajar (kejujuran, kearifan, kerendahan hati, hikmah kontekstual) dengan berbagai cara; menggunakan music untuk mengembangkan musical intelligence, belajar berdiskusi untuk mengembangkan interpersonal intelegence, aktivitas seni untuk mengembangkan visual-soatial intelegence, role play untuk mengembangkan bodly-kinesthetic intelegence, perjalanan ke lapangan (field trips) untuk mengembangkan nature intelegence, menggunakan multimedia dan refleksi diri untuk mengembangkan intra-personal intelegence.

Jika American dream adalah kebebasan (freedom), maka Indonesian dream adalah bebas korupsi (Corruption Free).