Gagasan Kebangkitan, Juni 2012
oleh
Evi Mulyani
PK KAMMI UPI, Mahasiswa P. Ekonomi UPI 2009
Sesungguhnya kehidupan kita
tengah berada dalam kegelapan, dimana kegelapan itu menyelimuti seluruh
sendi-sendi kehidupan kita. Dari segi pemerintahan, disana banyak duduk tiran
yang korup. –M. Taufik Ali Ashor-
Sinisme terhadap wajah
Indonesia kian hari kian menghegemoni. Perilaku busuk pejabat publik menyumbat
keagungan citra bangsa. Berkelebat memperkaya diri secara tidak wajar dan tidak
legal. Kebebalan dianggap superioritas dalam mereguk momentum saat diberi
kepercayaan dengan menyalahgunakan kekuasaan publik. Sendi-sendi kebersamaan
bangsa dirusak, struktur pemerintahan diacak, perjalanan pemerintahan dihambat.
Ia benalu sosial yang semakin hari semakin mewabah dan mencederai geliat
ekonomi yang sehat. Ia adalah koruptor bak roman pesakitan yang tak henti
merilis beragam model pengembangan korupsi.
Korupsi bukanlah kejahatan
yang baru, melainkan kejahatan lama yang sangat pelik dan sistemik. Dalam
konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi telah mengakar dan
membudaya. Kerap kali kita mengernyitkan hati atas peristiwa lumrah kalangan
mayoritas pejabat publik akan kewajaran melegitimasi kejadian korupsi. Bersukat
dengan retorika anti korupsi tidak cukup pakem untuk mengurungkan kelincahan
praktik tercela ini. Peraturan perundang-undangan yang dirilis pemerintah hanya
menjadi meaning less dan bebal bagi koruptor.
Roman Korupsi
Berbicara perkembangan
korupsi berarti menggantang pemberantasan korupsi. Hingga kini, pemberantasan
korupsi belum menunjukkan titik terang. Kasus-kasus korupsi masih menggeliat
dari dulu sampai sekarang.
Contohnya saja kasus
megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus tersebut menjalar
bak gurita baik ke aparat hukum maupun elit politik.
Kasus lain yang berselancar
dengan nyaman dan berkelebat dengan aman yaitu kasus korupsi Bailout Bank
Century. Suap cek pelawat pemilihan deputi senior BI ikut memenuhi daftar kasus
korupsi di negeri ini. Kasus Nazarudin, rekening gendut polri, mafia pajak
Gayus Tambunan, Angelina sondach, hambalang, Freeport, tambang gas cepu,
lapindo, dan kasus lainnya yang masih lezat untuk diperbincangkan Indonesia
hari ini turut berdesakkan untuk dienyahkan.
Transparency International (TI) kembali meluncurkan Corruption Perception
Index (CPI). CPI adalah sebuah indeks gabungan. Indeks ini dihasilkan dari
penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional yang
terpercaya. CPI mengukur persepsi korupsi yang dilakukan politisi dan pejabat publik.
Tahun ini CPI mengukur tingkat korupsi dari 183 negara dengan rentang indeks
antara 0 sampai dengan 10, dimana 0 berarti Negara tersebut dipersepsikan
sangat korup, sementara 10 berarti Negara yang bersangkutan dipersepsikan
sangat bersih. Pada tahun ini, skor Indonesia dalam CPI adalah 3.0. Indonesia
dan Negara-negara menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Dikawasan
ASEAN, skor Indonesia berada dibawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.1 (
)
Etape yang dihasilkan CPI
tidak ada perubahan yang signifikan. Skor tersebut masih berada dibawah nilai
tengah (0.5), belum pantas jika Indonesia dipersepsikan sebagai Negara yang
sangat bersih.
Terkesiap bak mendengar
obituarium atas realita dari kalkulasi Corruption Perception Index (CPI)
yang tersemat pada Indonesia kini. Mata rantai benalu tersebut telah menggurita
di Negara kita. akankah kita terdiam sampai sebuah bandul berbunyi tanda
peringatan karena cekikan benalu sosial itu sudah hampir mematikan? Mari
berkontemplasi dan meruwat harapan dengan kembali menyusun taktis demi
mengenyahkan hasrat dan perilaku korupsi.
Kembali ke Sekolah
Kompleksitas bencana yang
dipanen dari benih korupsi yang semakin telak menyeruak kepermukaan bukan
mustahil untuk dienyahkan. Cara yang paling efektif menurut Berry (2010) adalah
melalui media pendidikan.
Keterlibatan pendidikan
nasional secara formal dalam mengeliminasi korupsi memiliki kedudukan strategi
antisipatif. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas dalam Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 tertuang bahwa pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman.
Berangkat dari makna
Undang-Undang Republik Indonesia diatas, terdapat superioritas makna dalam hal
relevansi dan harmonisasi antara pendidikan berbasis nilai dan sesuai dengan
kebutuhan para peserta didik.
Pembelajaran Berbasis Value
Roman proses pembelajaran
hari ini hanya menggugu kemampuan intelegency. Berkeluk pada kemampuan
kognitif. Ragam manusia akan semakin haus ilmu yang tidak dapat terlampiaskan
sebagaimana kodrat manusia. Mengais ilmu adalah andil dari tingkat kemampuan intelegency
dengan little processor didalam otak kecil.
Tak heran jika pembelajaran
terutama pembelajaran dalam hidup sering digerek pada situasi yang tak hanya
membutuhkan formula intelegency dalam menyelesaikannya akan tetapi
kreativitas sangat diandalkan. Pembelajaran akan elok jika menggugu dan meniru value.
Memetik nilai yang berserakan dalam proses pembelajaran yang kemudian
diaplikasikan dalam kehidupan sebagai makhluk individualis, sosialis, dan
bermartabat. Bukan hanya melulu berselancar pada pembelajaran tekstual
melainkan kontekstual.
Memaut Asa Pengabdian Tulus
Pendidik
Chico
Mendez berseru, “menciptakan seribu orang tanpa pendidikan, yang tercipta amuk
massa. Sedangkan menciptakan seratus orang dengan pendidikan, yang muncul
adalah sebuah perubahan terstruktur”.
Seorang
penggiat lingkungan, Chico Mendez telah melukiskan ribuan inspirasi bagi
pendidik. Menebar semangat dengan memasukkan formula pendidikan sebagai hal
vital dalam menginisiasi perubahan.
Mengakar
kekesatriaan pendidik dengan menyulap kepribadian pembelajar agar menjadi para
pembelajar yang memiliki karakter. Meruwat asa pada pendidik mengantarkan pembelajar
pada pemahaman bukan lagi sosok yang bersukat mengejar score besar (score
oriented) yang akan tertuang dalam ijazah dengan menghalalkan segala cara atau
bersukat mengejar gelar dengan percuma tanpa makna.
Memantik
kekesatriaan pendidik dengan mengangkat cara belajar yang menimba dari
pengalaman agung sang juara, dari khazanah emas. Memaut asa para pembelajar
berprestasi sekaligus berandil di masyarakat. Sehingga ilmu yang tereguk di
sekolah atau perguruan tinggi dapat menghegemoni dalam pembentukkan sikap hidup
positif keseharian pembelajar.
Menebar Value
bagi Pembelajar Indonesia
Mari kita
menilik dan memahami alasan utama penyebab merebaknya korupsi, adalah mental
aparat yang bobrok. Terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para
koruptor. Tak jarang kita menyaksikan para koruptor adalah orang yang sudah
berlebih dalam hal materi. Namun karena ketamakannya, mereka masih berhasrat
untuk memperkaya diri.2 (
)
Namun,
melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit.
Dibutuhkan
semangat serigala untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi. Korupsi
selalu bersisa karena pembombardiran terhadap benalu sosial tersebut tidak
pernah tepat sasaran. Tamsil “gigi yang sakit, tapi yang diobati telapak
tangan”.
Akar
permasalahan yang terpatri adalah pada karakter bobrok sebagian manusia
Indonesia. Indonesia harus berkelebat dan bersukat sejak dini untuk
mengeliminasi kebobrokan karakter dengan model pembelajaran pada pembelajar
dengan berbasis value. Menyampaikan pesan agung dan memetik value sehingga
dapat mewujudkan the true learning.
Mengakomodasi
Transformasi Value Berbasis Multiple Intellegences
Dalam
menancapkan value dari berbagai topik bahasan pembelajaran, tidak serta
merta menekankan pada kemampuan logika dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk
ceramah yang acap kali membuat bosan para pembelajar. Efektifitas dalam
mentransfer materi pelajaran yang sarat makna (value) dapat disampaikan
dalam proses belajar yang sesuai dengan kondisi siswa (tanggap terhadap
kebutuhan zaman).
Seorang
pendidik yang kreatif akan mentransformasikan value pada pembelajar (kejujuran,
kearifan, kerendahan hati, hikmah kontekstual) dengan berbagai cara;
menggunakan music untuk mengembangkan musical intelligence, belajar berdiskusi
untuk mengembangkan interpersonal intelegence, aktivitas seni untuk
mengembangkan visual-soatial intelegence, role play untuk mengembangkan bodly-kinesthetic
intelegence, perjalanan ke lapangan (field trips) untuk
mengembangkan nature intelegence, menggunakan multimedia dan refleksi diri
untuk mengembangkan intra-personal intelegence.
Jika
American dream adalah kebebasan (freedom), maka Indonesian dream adalah bebas
korupsi (Corruption Free).