Oleh
Evi Mulyani*
Dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16
Agustus 1984 menyatakan, bahwa “yang menjadi andalan utama pembangunan
Indonesia bukanlah kekayaan alamnya yang melimpah ruah, melainkan kualitas
manusia Indonesia. Kualitas manusia Indonesia itulah yang akan menentukan
berhasil atau tidaknya usaha bangsa Indonesia untuk tinggal landas nanti.”
Pidato mantan Presiden Indonesia diatas telah mengonfirmasi bahwa
andalan utama pembangunan Indonesia adalah kualitas manusianya. Kini, berbicara
kualitas manusia Indonesia malah memunculkan masa kelam. Pasalnya, kualitas manusia Indonesia perlahan kian merosot.
Berdasarkan data United Nations Development Programme (UNDP) tanggal 2
November 2011 merilis angka Human Development Index (HDI) Indonesia 2011
sebesar 0,617. Dengan nilai tersebut, peringkat Indonesia berada diposisi 124
dari 187 negara. Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2011
tersebut melorot 16 peringkat dibandingkan tahun lalu yaitu di peringkat 108. Peringkat Indonesia juga tercatat berada di bawah rata-rata
kawasan Asia Timur dan Pasifik, yaitu sebesar 0,671.
Human Index Development (HDI) merupakan komposit dari indeks kesehatan yang diukur dari
angka harapan hidup saat lahir yaitu sebesar 69,4
tahun.
Dari sisi penghasilan, pendapatan per kapita Indonesia baru
sekitar US$ 3,716. Indonesia juga
masih tertinggal soal keberlanjutan
ekonomi (sustainability) yang diukur berdasarkan jumlah tabungan bersih, Indonesia hanya 11,0. Indonesia hanya unggul dalam hal indeks ketidaksetaraan gender dan jumlah
populasi. Indeks ketidaksetaraan gender Indonesia sebesar 0,505.
Untuk populasi, Indonesia saat ini memiliki jumlah yang fantastis, yaitu 242.325.000 penduduk. Dari sisi pendidikan, angka melek aksara penduduk
usia 15 tahun keatas sebesar 92,2 persen; angka partisipasi kasar sebesar 117
persen; angka harapan anak usia sekolah hanya 13,2 tahun dan angka harapan rata-rata tahun sekolah atau rata-rata lama mengenyam bangku
pendidikan bagi penduduk usia diatas 25 tahun yaitu 5,8 tahun.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar orang Indonesia tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Ironis. Begitu
pula dengan harapan lama sekolah yang hanya sebesar 13,2 tahun, itu artinya
secara umum orang Indonesia hanya akan mengenyam pendidikan sampai tingkat
Sekolah Menengah Atas (SMA) saja.
Banyak tanya menyeruak keruang publik, bagaimana mungkin negara yang dikenal sebagai zamrud
khatulistiwa dengan dianugerahi Tuhan sumber
daya yang
tidak akan ada habisnya. Emas, intan, berlian, uranium, minyak
bumi, hingga
batubara disediakan
Tuhan dengan stok berlimpah, disediakan segala hal yang bahkan tak dimiliki negeri para dewa. Negara yang
merdeka lebih
dari 66 tahun silam setelah lepas dari penjajahan Belanda dan
Jepang
dipandang matang untuk membangun bangsanya. Segala
hal di
negeri ini diciptakan istimewa oleh Sang
Pencipta,
masih tergopoh-gopoh untuk keluar dari keterpurukannya?
Bagaimana mungkin negara yang
terbebas dari dentuman meriam dan rentetan senapan mesin yang menyalak dahsyat, terbebas dari kepanikan, keributan, kekacauan, kegelisahan,
terbebas dari kilatan-kilatan
cahaya membabi-buta yang membuat takut untuk melangsungkan kehidupan
belum juga keluar dari ketertinggalan kualitas manusianya?
Kabarnya, bidang pendidikanlah yang banyak mencederai
peringkat IPM Indonesia di
tahun 2011. Padahal bidang pendidikan yang selama ini
mendapatkan kucuran dana terbesar
dari APBN. Dua puluh persen
dari APBN telah dialokasikan khusus untuk bidang pendidikan. Apakah dana sebesar itu belum mampu mendanai semua
agenda pendidikan di Indonesia? Ataukah dana sebesar itu tidak tepat sasaran? dua
tolok ukur IPM lainnya yaitu
bidang kesehatan dan pendapatan per kapita.
Seharusnya, dengan dana kesehatan yang telah dinaikkan
menjadi 5% IPM Indonesia meningkat dari tahun
ke tahun.
Selanjutnya, program-program lain yang dilakukan pemerintah seperti peningkatan jumlah
lapangan kerja terutama bagi masyarakat miskin, jaminan sosial bagi masyarakat
tidak mampu, pemberdayaan masyarakat di kawasan terpencil, belum juga mencapai hasil yang signifikan.
Kecurigaan besar acapkali tertuju
pada bidang pendidikan yang kabarnya banyak mencederai IPM Indonesia tahun
2011. Pemicu terbesarnya disinyalir rendahnya akses masyarakat terhadap
pendidikan. Terbukti sampai saat ini tidak
semua penduduk mampu menggapai akses terhadap pendidikan apalagi masyarakat yang berdomisili
di daerah terpencil. Hal tersebut diperparah oleh ulah pemerintah dibeberapa
daerah tertentu yang rupa-rupanya abai dan kurang
serius dalam
mengelola pendidikan, sikap yang passive dan cenderung kurang pro
aktif dalam memajukan pendidikan sehingga wajar saja apabila bidang pendidikan
menempati urutan pertama penyebab IPM Indonesia merosot.
Hal lain dari bidang kesehatan, service
kesehatan yang diberikan kepada masyarakat masih perlu banyak dievaluasi.
Mengingat potret anak Indonesia yang terkena gizi buruk terbilang menggurita
untuk beberapa daerah tertentu, pelayanan kesehatan bagi ibu hamil masih sangat
mengkhawatirkan. Bantuan kepada masyarakat miskin seperti peningkatan jumlah
lapangan kerja masih belum terasa adanya belum lagi diperparah dengan adanya
kesenjangan social yang semakin besar, wajar saja apabila pendapatan perkapita
Indonesia masih sangat rendah.
Ada bayangan suram tentang masa
depan kualitas
manusia Indonesia, terutama ketika kita hendak memproyeksikan bangsa ini dalam zona sengit globalisasi
dan pasar bebas.
Kondisi yang memprihatinkan dan prestasi yang memalukan terus
menggelayuti pikiran hingga timbul pertanyaan, akankah kita keluar dari
keterpurukan ini?. Saat ini tidak ada yang lebih penting daripada memikirkan
langkah mercusuar untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Hal ini tentu
memerlukan analisis yang lebih mendalam untuk menemukannya. Membangun manusia
Indonesia menjadi lebih berkualitas dibutuhkan langkah berani yang focus
dan serius.
Setidaknya ada tiga solusi yang tak
dapat diacuhkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia berdasar pada
potret kualitas manusia saat ini. Pertama, perbaikan
akses terhadap pendidikan dan kesehatan masyarakat, sebab baik pendidikan
maupun kesehatan pada kenyataannya belum juga menggurita apalagi dinikmati semua masyarakat,
terutama untuk daerah terpencil. Langkah tersebut akan lebih essential apabila
dibarengi dengan peningkatan kuantitas
dan kualitas pendidikan anak-anak sejak usia dini.
Kedua, panggung pendidikan harus mempunyai road map yang jelas. Evaluasi secara berkala pada bidang
pendidikan, agar tercipta awareness dan lebih pro aktif, serta lebih
kontras dalam memandang masalah sehingga lebih pandai menentukan masalah mana
yang menjadi prioritas untuk segera diselesaikan.
Ketiga, giatkan desentralisasi
(otonomi daerah). Menurut Kepala
Perwakilan United Nations Development Programme (UNDP) di Indonesia,
El-Mostafa Benlamilia
menyatakan, bahwa kesenjangan
ekonomi dan pendidikan di Indonesia akan berkurang bahkan hilang apabila
desentralisasi (otonomi daerah) dijalankan dengan baik. Dibarengi dengan meningkatkan
kapasitas di daerah terutama pemerintah daerah dan masyarakatnya akan menjadi langkah komplemen yang
cukup berarti.
Histori angka-angka Human Development Index Indonesia
yang selama ini tertuang di United
Nations Development Programme (UNDP) memang belum fantastis.
Namun, sudahlah cukup sampai disini kita menyaksikan proses stagnasi
pembangunan yang parah seperti yang dikabarkan UNDP kepada kita. Meningkatkan
kualitas manusia Indonesia bukan mustahil untuk dicapai.
*Mahasiswa Pendidikan Ekonomi UPI 2009